PENDAHULUAN
Pengertian Swasembada pangan.
Swasembada pangan yang berarti kita mampu untuk mengadakan sendiri kebutuhan pangan masyarakat dengan melakukan realisasi & konsistensi kebijakan tsb, antara lain dengan melakukan:
1. Pembuatan UU & PP yg berpihak pada petani & lahan pertanian.
2. Pengadaan infra struktur tanaman pangan seperti: pengadaan daerah irigasi & jaringan irigasi, pencetakan lahan tanaman pangan khususnya padi, jagung, gandum, kedelai dll serta akses jalan ekonomi menuju lahan tsb.
3. Penyuluhan & pengembangan terus menerus utk meningkatkan produksi, baik pengembangan bibit, obat2an, teknologi maupun sdm petani.
4. Melakukan Diversifikasi pangan, agar masyarakat tidak dipaksakan utk bertumpu pada satu makanan pokok saja (dlm hal ini padi/nasi), pilihan diversifikasi di indonesia yg paling mungkin adalah sagu, gandum dan jagung (khususnya indonesia timur).
Jadi diversifikasi adalah bagian dr program swasembada pangan yg memiliki arti pengembangan pilihan/ alternatif lain makanan pokok selain padi/nasi (sebab di indonesia makanan pokok adalah padi/nasi). Salah satu caranya adalah dengan sosialisasi ragam menu non pad/nasi.
Pada level nasional pengertian swasembada pangan telah menjadi perdebatan selama tahun 1970 sampai tahun 1980an. Ketahanan pangan nasional tidak mensyaratkan untuk melakukan swasembada produksi pangan karena tergantung pada sumberdaya yang dimiliki. Suatu negara bisa menghasilkan dan mengekspor komoditas pertanian yang bernilai ekonomi tinggi dan barang-barang industri, kemudian membeli komoditas pangan di pasar internasional. Sebaliknya, negara yang melakukan swasembada produksi pangan pada level nasional, namun dijumpai masyarakatnya yang rawan pangan karena ada hambatan akses dan distribusi pangan Stevens et al. (2000). Lassa (2006) dengan mengadopsi Stevens et al. (2000), telah memberikan ilustrasi yang sangat baik mengenai negara-negara yang melakukan swasembada pangan dengan kondisi ketahanan pangannya. (Tabel 2.1). Negara-negara kategori A (USA, Canada, Australia, Brunei) memiliki kapasitas pangan yang paling kuat karena memiliki kondisi pangan ideal di mana mereka mampu berswasembada pangan tetapi sekaligus juga memiliki ketahanan pangan yang kuat. Sedangkan Negara C seperti Singapura, Norwegia dan Jepang, mereka sama sekali tidak swasembada pangan tetapi
memiliki fondasi ketahanan pangan yang jauh lebih kuat dari Negara-negara kategori B seperti Indonesia, Filipina dan Myanmar.
Keterbatasan konsep swasembada pangan ini terjadi di Afrika pada pertengahan tahun 1980 dimana fokus peningkatan produksi untuk mencapai swasembada justru menimbulkan adanya krisis pangan pada masyarakat. Sehingga jelas bahwa ketersediaan pangan pada level nasional tidak secara otomatis menjamin ketahanan pangan pada level individu dan rumah tangga. (Borton and Shoham, 1991). Stevens et al . (2000, dalam Lassa, 2006) memberikan ilustrasi yang membedakan secara tegas antara swasembada pangan dengan ketahanan pangan Bostwana, sebagai misal, sebagai Negara dengan pendapatan perkapita sedang tapi mengalami defisit pangan yang kronis karena minimnya lahan pertanian. Strategi ketahanan pangan nasionalnya adalah swasembada tetapi akhirnya lebih berorientasi
pada self-reliance. yang mana secara formal mengesahkan kontribusi yang hakiki dari pangan import terhadap ketahanan pangan nasional. Thompson dan Cowan (2000 dalam Lassa, 2006) mencatat perubahan kebijakan dan pendefinisian formal ketahanan pangan dalam kaitannya dengan globalisasi perdangan yang terjadi di beberapa Negara. Contohnya, Malaysia mendefinisikan ulang ketahahanan pangannya sebagai swasembada 60% pangan nasional. Sisanya, 40% didapatkan dari import pangan. Malaysia kini memiliki tingkat ketahanan pangan yang kokoh. Ini memberikan ilustrasi yang jelas bahwa ketahanan pangan dan swasembada adalah dua hal yang berbeda. Amartya Sen berhasil menggugat kesalahan paradigma kaum Maltusian yang kerap berargumentasi bahwa ketidak-ketahanan pangan dan kelaparan adalah soal produksi dan ketersediaan semata. Sedangkan dengan mengangkat berbagai kasus di India dan Afrika, Sen mampu menunjukan bahwa ketidaktahanan pangan dan kelaparan justru kerap terjadi karena ketiadaan akses atas pangan bahkan ketika produksi pangan berlimpah, ibarat “tikus mati di lumbung padi”. Kasus gizi buruk di Nusa Tenggara Barat adalah salah satu bukti (Lassa, 2006). Berdasarkan kenyataan tersebut peneliti dan akademisi menyadari bahwa kerawanan pangan terjadi dimana situasi pangan tersedia tetapi tidak mampu diakses
rumah tangga karena keterbatasan sumberdaya ekonomi yang dimiliki (pendapatan, kesempatan kerja, sumberdaya ekonomi lainnya). Hal ini konsisten dengan pendapat Sen (1981) bahwa produksi pangan bukan determinan tunggal ketahanan pangan, melainkan hanyalah salah satu faktor penentu.
Sampai saat ini di Indonesia, banyak kalangan praktis dan birokrat kurang
memahami pengertian swasembada pangan dengan ketahanan pangan. Akibat dari keadaan tersebut konsep ketahanan pangan seringkali diidentikkan dengan peningkatan produksi ataupun penyediaan pangan yang cukup.
Swasembada pangan umumnya merupakan capaian peningkatan ketersediaan pangan dengan wilayah nasional, sedangkan ketahanan pangan lebih mengutamakanakses setiap individu untuk memperoleh pangan yang bergizi untuk sehat dan produktif.
1.1 Kebijakan Pemerintah terhadap swambada pangan
Tampaknya, program swasembada pangan, khususnya beras, tidak akan pernah terwujud selama jajaran pengambil kebijakan di pemerintahan lebih mementingkan impor ketimbang memperluas lahan sawah dan membantu petani meningkatkan produksi. Swasembada beras tinggal ilusi setelah pernah diraih 1984 dan 2004 silam.
indonesia sebenarnya memiliki sarana dan prasarana lengkap dan dapat diandalkan untuk mendukung swasembada beras. Terlebih bila memperhitungkan lahan pertanian padi yang masih potensial dan luas, di samping jumlah sumber daya manusia (petani) banyak, produksi pupuk dan benih memadai, serta sistem irigasi yang sudah terbentuk sejak lama.
Namun pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (pemda) serta seluruh pihak terkait malah terkesan memandang sebelah mata sektor pertanian tanaman pangan. Fakta paling gamblang tentang itu: lahan pesawahan – termasuk yang beririgasi teknis – terus menyusut secara signifikan akibat tergusur aneka kepentingan nonpertanian, terutama permukiman dan industri.
Maka jangan sesali kalau produksi beras nasional cenderung menurun. Bahkan kalaupun berbagai faktor amat menunjang – seperti iklim, pengendalian hama, juga penyediaan berbagai input – produksi beras nasional sulit sekali ditingkatkan lagi. Produksi beras nasional boleh dikatakan sudah stagnan di level 50-an juta ton per tahun. Padahal konsumsi nasional, sebagai konsekuensi pertambahan penduduk, terus meningkat pasti dan begitu signifikan.
Di lain pihak, negara-negara seperti Thailand dan Vietnam terus berupaya keras meningkatkan produksi beras secara intensif. Upaya mereka sungguh tak mengenal lelah, termasuk mengembangkan dan menerapkan inovasi pertanian. Target mereka bukan lagi sekadar mencapai swasembada, melainkan tampil menjadi negara produsen beras terbesar di dunia.
Dalam konteks seperti itu pula, Thailand dan Vietnam sering tampil menjadi “penyelamat” bagi Indonesia ketika persediaan beras di dalam negeri menyusut. Bagi Indonesia, Thailand dan Vietnam kini menjadi sumber andalan bagi impor beras.
Tapi celakanya, impor beras kini terkesan bukan lagi sekadar alternatif sementara. Impor beras seolah sudah menjadi andalan untuk mengamankan kebutuhan nasional. Di tengah produksi beras di dalam negeri yang cenderung stagnan atau bahkan terus menurun, sementara kebutuhan konsumsi mencatat grafik yang kian menanjak, pemerintah tidak cukup terlecut untuk bertindak habis-habisan menggerakkan upaya peningkatan produksi beras nasional. Pemerintah terkesan lebih merasa aman dan nyaman mengandalkan impor.
Untuk mendukung salah satu program revitalisasi pertanian tersebut, pemerintah seharusnya menyiapkan lebih banyak lagi bibit unggul untuk para petani, sehingga produksi pertanian dari tahun ke tahun akan semakin membaik. Untuk mewujudkan swasembada yang dimaksud, maka diperlukan peningkatan produksi beras sebanyak 2 juta ton tahun 2007 dan peningkatan lima persen per tahun hingga tahun 2009.
Kunci keberhasilan peningkatan produksi padi, antara lain optimalisasi sumber daya pertanian, penerapan teknologi maju dan spesifik lokasi, dukungan sarana produksi dan permodalan, jaminan harga gabah yang memberikan insentif produksi serta dukungan penyuluhan pertanian dan pendampingan.
Sementara strategi yang dilakukan untuk mewujudkan keberhasilan itu, yakni dengan peningkatan produktivitas, perluasan areal tanam, pengamanan produksi, dan pemberdayaan kelembagaan pertanian serta dukungan pembiayaan usaha tani.
Sedangkan upaya peningkatan produktivitas padi antara lain melalui pengelolaan tanaman terpadu (PTT) di 33 provinsi seluas 2,08 juta hektare, penanaman padi hibrida di 14 provinsi seluas 181.000 hektare, dan perbaikan intensifikasi non-PTT di 33 provinsi seluas 10,3 juta hektare.
1.2 Hambatan dalam pemerograman swasebada pangan
Swasembada pangan terkendala pada keterbatsan lahan, swasembada pangan berkelanjutan pemerintah telah menetapkan peningkatan produksi. Untuk jagung 10 persen per tahun, kedelai 20 persen, daging sapi 7,93 persen, gula 17,56 persen dan beras 3,2 persen per tahun.
Dalam Sidang Regional Dewan Ketahanan Pangan Tahun 2010, dia mengatakan, mencapai target ini diperlukan peningkatan areal pertanaman. Dia mencontohkan, pada swasembada gula dibutuhkan lahan tambahan 350.000 hektare (ha), kedelai 500.000 ha. “Tapi ada kendala. Hingga saat ini, pun belum ada kepastian soal lahan,” katanya dalam kegiatan yang diikuti para Sekretaris Dewan Ketahanan Pangan Provinsi dan Kabupaten/Kota se Indonesia.
Kondisi ini, menjadikan satu lahan pertanian terpaksa untuk menanam berbagai komoditas tanaman pangan secara bergantian. Akibatnya, Indonesia selalu menghadapi persoalan dilematis dalam upaya peningkatan produktivitas tanaman.
Jika menggenjot produksi kedelai, produksi jagung akan turun. Sebab, lahan diambil kedelai. Juga sebaliknya, karena kedua komoditas ini ditanam saling menggantikan.
Sebenarnya Badan Pertanahan Nasional (BPN) telah menjanjikan lahan 2 juta ha dari total lahan terlantar 7,3 juta ha untuk pertanaman pangan. Namun hingga saat ini belum ada kejelasan soal lahan itu.
Selain keterbatasan lahan, kendala lain yang dihadapi mencapai swasembada pangan masih tinggi alih fungsi atau konversi lahan pertanian ke non pertanian.
Saat ini, konversi lahan pertanian mencapai 100.000 ha per tahun, sedang kemampuan pemerintah menciptakan lahan baru maksimal 30.000 ha. Hingga setiap tahun justru terjadi pengurangan luas lahan pertanian.
Sementara perubahan yang mengakibatkan cuaca tidak menentu dan keterbatasan anggaran juga berdampak terhadap upaya swasembada produk strategis itu.
Menyinggung upaya pemerintah mengatasi persoalan keterbatasan anggaran, pemerintah mengembangkan program food estate atau kawasan pertanian skala luas dengan merangkul swasta, BUMN dan BUMD. “Food estate itu sebagai akselerasi, karena anggaran APBN terbatas. Orientasi ekspor, tetapi kalau kebutuhan dalam negeri berkurang, diutamakan mengisi kebutuhan dalam negeri.
1.4 Program swasembada pangan pada masa susilo bambang yudoyono
Pada masa nya SBY dianggap gagal dalam hal swasembada pangan dan hanya dianggap keberhasilan yang semu,Pentingnya pencapaian swasembada beras, perlu diketahui kedudukan khusus beras dalam menu, budaya, dan politik Indonesia. Beras adalah bahan makanan pokok bagi orang Indonesia. Berbagai bahan makanan lain pengganti beras pernah dianjurkan oleh pemerintah, namun rakyat tidak menyukainya.
Ketika harga beras melonjak sampai pada titik di mana konsumsinya harus dikurangi, penduduk menjadi kekurangan gizi dan kelaparan. Beras adalah pusat dari semua hubungan pertalian sosial.
Radius Prawiro pada tahun 1998 menjabarkan beberapa langkah kunci yang pernah diambil dalam perjalanan ke arah swasembada beras, diantaranya: 1. Bulog, Dewan Logistik Pangan, dan Harga-harga Beras.
Di antara lembaga-lembaga tersebut, Buloglah yang paling berperan dalam pencapaian swasembada beras. Bulog tidak terlibat langsung dalam bisnis pertanian, melainkan hanya dalam urusan pengelolaan pasokan dan harga pada tingkat ansional.
Bulog sengaja diciptakan untuk mendistorsi mekanisme harga beras dengan manipulasi untuk memelihara pasar yang lebih kuat. Selama tahun-tahun pertamanya dalam dekade 70-an, Bulog secara bertahap menaikkan harga dasar beras untuk petani. Pada pertengahan dekade 80-an, ketika Indonesia surplus beras, Bulog mengekspor beras ke luar negeri untuk mencegah jatuhnya harga. Tindakan ini membantu memelihara stabilitas pasar.
2. Teknologi dan Pendidikan. Sejak tahun 1963, Indonesia memperkenalkan banyak program kepada para petani untuk meningkatkan produktivitas usaha tani. Pemerintah berjuang untuk memperkenalkan teknologi pertanian kepada para petani.
Di samping itu, pemerintah juga menekankan pendidikan untuk menjamin teknik dan teknologi baru dimengerti dan digunakan secara benar. Faktor lain yang berperan penting dalam meningkatkan hasil padi adalah peningkatan penggunaan pupuk kimia.
3. Koperasi Pedesaan. Pada tahun 1972, ketika Indonesia kembali mengalami panen buruk, pemerintah menganjurkan pembentukan koperasi sebagai suatu cara untuk memperkuat kerangka kerja institusional. Ada dua bentuk dasar dari koperasi, pada tingkat desa ada BUUD (Badan Usaha Unit Desa).
Pada tingkat kabupaten, ada koperasi serba usaha yang disebut KUD (Koperasi Unit Desa). Koperasi juga bertindak sebagai pusat penyebaran informasi atau pertemuan organisasi.
4. Prasarana. Banyak aspek pembangunan prasarana yang secara langsung ditujukan untuk pembangunan pertanian, dan semuanya secara langsung memberikan kontribusi untuk mencapai swasembada beras. Sistem irigasi merupakan hal penting dalam pembangunan prasarana pertanian. Pekerjaan prasarana lain yang berdampak langsung dalam pencapaian tujuan negara untuk berswasembada beras adalah program besar-besaran untuk pembangunan dan rehabilitasi jalan dan pelabuhan.
Pada masa itu, petani dipaksa bekerja dengan program pertanian modern yang penuh dengan tambahan kimiawi yang merendahkan kualitas kesuburan tanah untuk jangka panjang. Para petani dipaksa bertanam dengan menggunakan sarana produksi pupuk, obat hama, benih, dan lain sebagainya yang dipasarkan oleh beberapa perusahaan MNC/TNC yang mendapatkan lisensi pemerintah.
Penggunaan saprodi produk perusahaan MNC/TNC tersebut harus dibeli petani dengan harga mahal dari tahun ke tahun. Akibatnya, biaya produksi pertanian selalu melambung dan tidak terjangkau oleh petani domestik. Ironisnya, harga jual produk pertanian terutama beras, dikontrol dan dibuat murah harganya oleh pemerintah.
Pemerintah juga sering melakukan praktik dagang menjelang pelaksanaan kebijakan ekonomi yang kontroversial. Stok beras di pasaran dibuat langka baru kemudian harga naik, akhirnya masyarakat dipaksa memahami impor beras yang akan dilakukan oleh pemerintah. Impor beras yang dilakukan oleh pemerintah berdampak dua hal yakni:
Pertama, menurunkan motivasi kerja para petani karena hasil kerja kerasnya akan kalah berkompetisi dengan beras impor di pasaran.
Kedua, menterpurukkan tingkat pendapatan petani domestik yang rendah menjadi sangat rendah.
Selain itu, ada motivasi ekonomi-politik yang sebenarnya disembunyikan di balik logika bisnis impor beras. Impor beras merupakan bentuk kebijakan ekonomi-politik pertanian yang mengacu kepada kepentingan pasar bebas atau mazhab neo-liberalisme.
Kebijakan impor beras adalah pemenuhan kesepakatan AoA (Agreement on Agriculture) WTO yang disepakati oleh Presiden Soeharto tahun 1995 dan dilanjutkan pemerintahan penerusnya sampai sekarang. Butir-butir kesepakatan AoA terdiri dari :
1.Kesepakatan market access (akses pasar) komoditi pertanian domestik. Pasar pertanian domestik di Indonesia harus dibuka seluas-luasnya bagi proses masuknya komoditi pertanian luar negeri, baik beras, gula, terigu, dan lain sebagainya.
2. Penghapusan subsidi dan proteksi negara atas bidang pertanian. Negara tidak boleh melakukan subsidi bidang pertanian, baik subsidi pupuk atau saprodi lainnya serta pemenuhan kredit lunak bagi sektor pertanian. 3. Penghapusan peran STE (State Trading Enterprises) Bulog, sehingga Bulog tidak lagi berhak melakukan monopoli dalam bidang ekspor-impor produk pangan, kecuali beras.
Dampak pemenuhan kesepakatan AoA WTO sangat menyedihkan bagi kondisi pertanian lndonesia semenjak 1995 hingga sekarang ini. Sektor pertanian di Indonesia mengalami keterpurukan dan kebangkrutan. Akibat memenuhi kesepakatan AoA WTO, Indonesia pernah menjadi negara pengimpor beras terbesar di dunia pada tahun 1998 sebesar 4,5 juta ton setahun.
Beberapa kalangan aktivis gerakan petani di lndonesia menyebutkan merosotnya produksi beras nasional semenjak tahun 1985-2009 dikarenakan problem warisan struktural pertanian masih melekat dalam kehidupan petani. Di antaranya, semakin banyak petani yang berlahan sempit (menjamumya petani gurem) dan tidak adanya kemajuan teknologi pertanian yang berorientasi ekologis.
Menurut sebuah studi oleh Peter Timmer pada tahun 1975, Konsep kepemilikan lahan rata-rata memang agak kabur pada tingkat mikro karena adanya perbedaan besar dalam hal penggunaan dan kualitas lahan. Namun demikian, fakta yang perlu ditekankan adalah bahwa lebih dari dua pertiga populasi usaha tani hanya memiliki kurang dari setengah hektar lahan untuk bercocok tanam, bahkan mungkin kurang dari sepertiga hektar lahan”.
Kemiskinan struktural di Indonesia juga dikemukakan oleh Geertz pada penelitiannya di tahun 1963, yang membawa pada gagasan shared poverty (kemiskinan yang ditanggung bersama). Pekerjaan dan pendapatan dari sektor pertanian dibagi-bagi kepada anggota keluarga, atau desa, sehingga semua mendapat pekerjaan dan makanan, namun tetap miskin.
Geertz secara pesimis menyimpulkan bahwa barangkali tidak mungkin untuk memperbaiki pertanian Indonesia secara signifikan. Karena, tanpa mengubah struktur sosial secara besar-besaran, “Setiap usaha untuk mengubah arah perkembangannya, misalnya menabur pupuk di atas lahan pertanian di Jawa yang sangat sempit, irigasi modern, cocok tanam padat karya dan diversifikasi tanaman, hanya akan menumbuhkan satu hal: paralisis.”
Hasil survei Petani Center NGos tahun 2007 menyatakan bahwa tingkat pendapatan petani Indonesia yang memiliki luas sawah 0,5 hektare kalah dibandingkan dengan upah bulanan buruh industri di kota besar. Para petani yang memiliki tanah/sawah 0,5 hektare untuk sekali musim tanam memerlukan biaya produksi sebanyak Rp 2,5 juta, termasuk biaya sarana produksi, upah pekerja, pemeliharaan, dan lain-lain.
Sementara itu, hasil dari produksi beras/padi sawah seluas 0,5 hektare yang dijual, setelah sebagian dijadikan stok logistik rumah tangga, hanya menghasilkan Rp 3,5 juta hingga Rp 4 juta. Jadi, keuntungan bersih hanya Rp 1 juta sampai Rp 2 juta, yang jika dibagi tiga bulan maka rata-ratanya hanya mendapatkan laba Rp 700.000 per bulan. Jika impor beras dilakukan dan harga beras petani semakin anjlok, dapat dibayangkan berapa keuntungan yang akan didapatkan oleh para petani negeri ini.
Presiden SBY adalah seorang doktor pertanian yang pernah menulis tesis tentang revitalisasi pertanian dengan beberapa kesimpulan, di antaranya:
1.Untuk membangun kembali pertanian maka intervensi asing semacam IMF dan World Bank harus dinetralisasikan dari bidang pertanian.
2. Pemerintah perlu mengorientasikan kebijakan fiskalnya untuk mendukung sektor pertanian.
3.Pemerintah perlu memfasilitasi pengembangan pertanian yang berorientasi kepentingan petani dengan penerapan penuh sistem pertanian berkelanjutan. Namun sayangnya keyakinan atau ide cerdas SBY dalam disertasinya berbalik dengan realitas kebijakan ekonomi-politik pertanian yang direncanakan dan diimplementasikan.
Kebijakan pemerintahan SBY saat ini tidak mendukung berkembangnya sektor pertanian dalam negeri. Antara lain, Indonesia telah mengarah ke negara industri, padahal kemampuanya masih di bidang agraris. Misalnya, kedudukan Pulau Jawa sebagai sentra penghasil padi semakin kehilangan potensi karena industrialisasi dan pembangunan perumahan. Konversi tata guna lahan ini merupakan salah satu pemicu merosotnya pertanian Indonesia yang menjadi sumber penghidupan 49 persen warga negara.
1.5 Ada sejumlah faktor yang selama ini menjadi pemicu utama terpuruknya sektor pertanian, di antaranya :
1. Dari segi sarana dan prasarana, dana pemeliharaan infrastruktur pertanian, tidak ada pembangunan irigasi baru, dan pencetakan lahan baru tidak berlanjut.
2. Dalam hal bebasnya konversi lahan pertanian, pihak pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten tidak disiplin menjalankan pemerintahan dengan mengizinkan pengubahan fungsi pertanian yang strategis bagi ketahanan negara.
2. Dalam hal bebasnya konversi lahan pertanian, pihak pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten tidak disiplin menjalankan pemerintahan dengan mengizinkan pengubahan fungsi pertanian yang strategis bagi ketahanan negara.
3. Dari sisi kebijakan dan politik, penerapan otonomi daerah membuat sektor tanaman pangan terabaikan. Para elite politik membuat kebijakan demi partai, bukan untuk kebijakan pangan rakyat. Keadaan semakin buruk dengan tidak adanya keamanan dan stabilitas yang seharusnya dijalankan aparat penegak hukum.
Kesimpulan :
Sampai saat ini di Indonesia, banyak kalangan praktis dan birokrat kurang
memahami pengertian swasembada pangan dengan ketahanan pangan. Akibat dari keadaan tersebut konsep ketahanan pangan seringkali diidentikkan dengan peningkatan produksi ataupun penyediaan pangan yang cukup.
Kebijakan pemerintahan SBY saat ini tidak mendukung berkembangnya sektor pertanian dalam negeri. Antara lain, Indonesia telah mengarah ke negara industri, padahal kemampuanya masih di bidang agraris. Misalnya, kedudukan Pulau Jawa sebagai sentra penghasil padi semakin kehilangan potensi karena industrialisasi dan pembangunan perumahan. Konversi tata guna lahan ini merupakan salah satu pemicu merosotnya pertanian Indonesia yang menjadi sumber penghidupan 49 persen warga negara.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar